atlantis dan indonesia


Atlantis telah memikat banyak peneliti dan mengilhami para seniman dari berbagai zaman. Misalnya saja Francis Bacon dengan esainya The New Atlantis (1627), Isaac Newton yang mengkaji beragam mitologi yang berkaitan dengan Atlantis (The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended, 1728), ilmuwan Nazi Heinrich Himmler yang mencari moyangnya hingga ke Tibet pada 1938, hingga Walt Disney dengan animasinya Atlantis: The Lost Empire (2001).
Sejak pertama kali diungkapkan oleh filsuf Yunani, Plato (429–347 Sebelum Masehi), pada sekitar 2.460 tahun yang lalu dalam karya dialoginya Timaeus dan Critias, Atlantis tetap menjadi misteri. Apakah Atlantis itu memang ada atau hanya negeri rekaan Plato belaka?

Arysio Nunes do Santos melalui bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found – The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization - Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia, memastikan Atlantis bukan fiksi. Bahkan ia menyimpulkan bahwa lokasi benua yang hilang itu sesungguhnya berada di wilayah Indonesia.
Memang, sejak akhir abad ke-19, para peneliti membuat hipotesis lokasi Atlantis. Sedikitnya ada 30 lokasi tersebar di penjuru dunia yang mengklaim sebagai lokasi Atlantis. Di antaranya Siprus, Malta, Kreta, Santorini, dan Sisilia di dekat laut Mediterania. Lokasi lain adalah di kawasan Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Canary dan Laut Utara, serta wilayah Segitiga Bermuda di kawasan Pasifik dan Paparan Sunda (Indonesia) di kawasan Samudra Hindia.
Santos sampai pada kesimpulan itu setelah mengkaji selama 30 tahun dengan mencocokkan ciri-ciri “pulau” (nesos) Atlantis yang diungkapkan Plato dengan kondisi Indonesia. Menurut Santos, tak kurang 30 kecocokan ciri antara Atlantis menurut Plato dan kondisi Indonesia.Misalnya, berada di wilayah tropis yang selalu panas meskipun di Zaman Es. Penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung; batu permata dan berbagai jenis logam, kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang tinggi mutunya, sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang produktif dengan dua kali panen per tahun; istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas.
Pengkajian Santos ini menggunakan pendekatan tradisi-tradisi suci, naskah kuno, dan mitos-mitos dari banyak bangsa, seperti Yunani, Romawi, Mesir, Mesopotamia, Funisia, India-Amerika, Hindu, Buddha, dan Yahudi-Kristen. Lalu, dia melakukan pelacakan ke belakang, mencari data ilmiah yang mendukung dan menjelaskan tradisi kuno tersebut.

Di sinilah persoalan muncul, data ilmiah yang menjadi rujukan Arysio ternyata dengan mudah dipatahkan oleh kalangan ilmuwan, misalnya dari disiplin arkeologi dan geologi. Seperti terungkap dalam acara seminar nasional bertajuk “Indonesia - Atlantis yang Sesungguhnya”, yang diselenggarakan penerbit Ufuk Publishing House di Museum Indonesia Taman Mini Indonesia Indonesia, 20 Februari lalu.
Harry Truman Simanjuntak, arkeolog dari LIPI, yang menjadi salah satu pembahas, mengatakan klaim Santos bahwa penduduk Paparan Sunda pada akhir zaman es (Pleistosen) memiliki peradaban yang tinggi tidak memiliki bukti. Pada periode 11.600 tahun yang lalu, kata Harry, ras yang menghuni wilayah ini adalah Australomelanesoid. Ia merupakan manusia modern awal yang menghuni gua-gua dan menggunakan perkakas dari batu serta hidup dari mengumpulkan dan meramu bahan makanan.

Sementara itu, menurut Santos, yang meyakini betul kebenaran Plato, orang Atlantis itu adalah induk dari semua peradaban di dunia. Ketika Paparan Sunda tenggelam, mereka yang selamat bermigrasi ke berbagai penjuru dunia, seperti ke Asia Tenggara, Cina, Polinesia, Amerika, dan Timur Dekat. Mereka sudah mampu bercocok tanam, mengolah bahan tambang menjadi logam mulia, dapat membangun istana, tembok, dan benteng, serta memiliki seni budaya yang tinggi.

Keraguan juga datang dari Awang H. Satyana, geolog senior di BP Migas. Menurut dia, klaim Santos bahwa Paparan Sunda (daratan yang menyatukan Sumatera, Jawa, Kalimantan) itu tenggelam karena letusan Gunung Krakatau yang mendatangkan tsunami setinggi 130 meter dan dan mencairkan es di kutub selatan juga tidak memiliki data ilmiah pendukung.
Letusan gunung, kata Awang, tidak mungkin melelehkan es di kutub. Malahan, yang paling mungkin adalah perubahan iklim seperti yang terjadi setelah Gunung Tambora meletus pada 1815. Abu yang dimuntahkan gunung itu sangat tebal sehingga menutupi atmosfer dan menghalangi sinar matahari. Akibatnya, suhu menjadi turun dan membuat iklim menjadi dingin, bahkan di Eropa kala itu ada julukan the year without summer.
Sementara itu, tidak ada publikasi penelitian yang mengkonfirmasi adanya letusan Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu. Menurut Awang, letusan paling purba dari Krakatau yang terlacak oleh geologi saat ini adalah pada 416 Masehi.
Namun, dalam pandangan budayawan Radhar Panca Dahana, tesis Santos yang menyebutkan bangsa yang mendiami Paparan Sunda memiliki peradaban yang tinggi cukup masuk akal. Radhar mengutip pernyataan Nobelis Rabindranath Tagore, yang marah ketika ditawari melihat “Indonesos” atau India Jauh saat berkunjung ke Jawa pada 1920-an. Menurut Tagore, apa yang dilihatnya bukanlah India, melainkan Jawa yang jauh berbeda dari India.
Bukti bahwa nenek moyang kita adalah pelaut besar dan pembuat perahu yang hebat, kata Radhar, bisa dilihat pada relief di Candi Borobudur. Perahu bercadik yang tergambar di situ kemudian ditiru oleh bangsa Eropa. Pada seribu tahun yang lalu, kata Radhar, ras Austronesia mampu berlayar sampai ke Haiti di Pasifik.
Di balik kontroversinya, kehadiran buku yang diklaim penerbitnya sebagai nasional best seller (telah dicetak 10 ribu kopi) ini merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, ini merupakan promosi gratis dari penulis asing atas keelokan, keunikan, dan kekayaan sumber daya alam, dan keberanekaan seni budaya Nusantara.
Selain itu, buku ini bisa menjadi aspirasi bagi pembaca Indonesia untuk berbangga akan Indonesia. Dari rasa cinta terhadap Tanah Air itu diharapkan tumbuh rasa memiliki, yang membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam mengenai asal-usul bangsa ini.
Santos juga mengundang para peneliti, para Atlantiolog, untuk menjadikan kawasan ini sebagai tempat penelitian. "Atlantis sampai saat ini tidak ditemukan karena mereka mencarinya di tempat yang salah," tulis Santos, yang wafat dua bulan setelah bukunya ini terbit pada 2005.


Benua Atlantis yang Hilang itu ternyata Indonesia
Oleh Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D.
http://www.atlan.org/articles/egyptian_temple1/
http://www.atlan.org/articles/old_world.html
MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu
mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan
Atlantis?
Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi
berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa,
pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian
permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang
hilang atau Atlantis.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato‘s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks Indonesia
Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara
Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saaitu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.
Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantaibenua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, ”Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui),
tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. ***
Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis
Benua Atlantis &

Peradaban Awal Umat Manusia Ada di Indonesia ?
JAKARTA, Republika, Sabtu, 18 Juni 2005
Para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’ masih terselimuti kabut misteri. Sebagian orang menganggap Atlantis cuma dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis oleh para pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua Atlantis terletak di Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
”Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia,” kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, Jumat (17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005.

Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.
Hipotesa itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologimolekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan akan menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium internasional di Solo, 28-30 Juni.
Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis — jika memang benar — adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable.
Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah daratan besar yang dahulu kala bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira dua kali negara India. ”Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra, Jawa atau Kalimantan,” terang Harry. Menurut dia, sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang tenggelam itu adalah benua Atlantis yang hilang, meski itu masih menjadi perdebatan.

BOROBUDUR ADALAH KARYA BALATENTARA NABI SULAIMAN
Berdasarkan hasil riset Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh
KH. Fahmi Basya, dosen Matematika Islam UIN Syarif Hidayatullah, ternyata "CANDI
BOROBUDUR" adalah bangunan yang dibangun oleh "TENTARA NABI SULAIMAN" termasuk
didalamnya dari kalangan bangsa Jin dan Setan yang disebut dalam Alqur'an
sebagai "ARSY RATU SABA", sejatinya PRINCE OF SABA atau "RATU BALQIS" adalah
"RATU BOKO" yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa, sementara patung2
di Candi Borobudur yang selama ini dikenal sebagai patung Budha, sejatinya
adalah patung model bidadara dalam sorga yang menjadikan Nabi Sulaiman sebagai
model dan berambut keriting.
Hasil riset tsb juga menyimpulkan bahwa "SUKU JAWA" disebut juga sebagai "BANI
LUKMAN" karena menurut karakternya suku tsb sesuai dengan ajaran2 LUKMANUL HAKIM
sebagaimana tertera dalam Alqur'an. Perlu diketahui bahwa satu2nya nabi yang
termaktub dalam Alqur'an, yang menggunakan nama depan SU hanya Nabi Sulaiman dan
negeri yang beliau wariskan ternyata diperintah oleh keturunannya yang juga
bernama depan SU yaitu Sukarno, Suharto, dan Susilo serta meninggalkan negeri
bernama SLEMAN di Jawa Tengah. Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan dari Nabi Daud
yang dikatakan didalam Alqur'an dijadikan Khalifah di Bumi ( menjadi Penguasa
Dunia dengan Benua Atlantis sebagai Pusat Peradabannya), Nabi Daud juga
dikatakan raja yang mampu menaklukkan besi (membuat senjata dan gamelan dengan
tangan, beliau juga bersuara merdu) dan juga menaklukkan gunung hingga dikenal
sebagai Raja Gunung. Di Nusantara ini yang dikenal sebagai Raja Gunung adalah
"SYAILENDRA" , menurut Dr. Daoed Yoesoef nama Syailendra berasal dari kata saila
dan indra, saila = gunung dan indra = raja.
Subhanallaah....
Alhamdulillaah...
Thanks for reading: atlantis dan indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...